NU Sumsel Online – Lembaga Takmir Masjid Nahdlatul Ulama (LTMNU) Kota Prabumulih terus menghidupkan tradisi keilmuan dan amaliyah Nahdlatul Ulama melalui kegiatan pengajian rutin setiap malam Kamis ba’da Isya. Kegiatan ini menjadi ruang pembelajaran kitab kuning pertama di kota ini yang terbuka untuk masyarakat umum.
Dengan mengusung metode khas pesantren, para jamaah tidak hanya duduk sebagai pendengar (mustami’), tetapi diwajibkan membawa kitab yang dibahas untuk dimaknai bersama. Metode ini tidak hanya memperkuat pemahaman keagamaan, namun juga menghidupkan kembali tradisi keilmuan pesantren di tengah masyarakat perkotaan.
Ketua LTMNU Kota Prabumulih, H. M. Fahruddin, S.Pd menyampaikan bahwa kegiatan ini bertujuan untuk mengenalkan serta menjaga amaliyah Nahdlatul Ulama kepada jamaah, khususnya para takmir masjid.
“Melalui pengajian rutin ini, kami berharap para takmir masjid yang masih mempertahankan amaliyah NU bisa berafiliasi dengan LTMNU. Ini bagian dari upaya menjaga warisan ulama salafus shalih di tengah gempuran modernisasi,” ungkap H. Fahruddin.
Ia menambahkan, pengajian ini telah menjadi ajang silaturahmi antar-asatidz dan jamaah Nahdliyyin yang konsisten hadir setiap pekannya. Dengan keterlibatan berbagai elemen masyarakat, LTMNU optimis dapat memperkuat identitas keagamaan yang moderat dan toleran.
H. Fahruddin menyebut bahwa ke depan, pihaknya akan mendorong sinergi antara LTMNU dengan lembaga pendidikan formal maupun nonformal untuk memperluas akses kajian kitab kuning.
“Kami ingin membentuk generasi muda yang mencintai kitab kuning, mencintai tradisi ulama, serta mampu menjadi penerus perjuangan dalam membina umat,” tutupnya.
Sementara, Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kota Prabumulih, Bayu Sugondo, S.Sy., yang pernah menjabat sebagai Ketua LTMNU, mengungkapkan bahwa kegiatan ini telah berjalan selama kurang lebih dua tahun dan menjadi pengajian kitab kuning pertama di Prabumulih yang bersifat terbuka untuk umum.
“Ini bukan sekadar pengajian biasa. Kajian kitab kuning ini menjadi wadah edukatif dan spiritual bagi masyarakat. Metode yang kami gunakan adalah metode pesantren, yakni dimulai dari membaca, memaknai, dan memahami isi kitab secara mendalam,” jelas Bayu Sugondo.
Ia menekankan bahwa kegiatan ini merupakan bagian dari upaya pelestarian tradisi pesantren yang menjadi ciri khas NU. Tidak hanya itu, kegiatan ini juga mendorong kemandirian dan keberdayaan umat dalam memahami agama secara kaffah (menyeluruh).
“Kajian ini bukan hanya untuk para kiai atau santri, tapi untuk semua lapisan masyarakat. Dengan metode ini, jamaah bisa mengakses langsung ilmu-ilmu klasik Islam yang diwariskan ulama,” tambahnya.
Dengan aktifnya pengajian rutin ini, LTMNU Prabumulih juga berperan sebagai motor penggerak dalam menghidupkan kembali peran masjid sebagai pusat peradaban Islam. Selain menjadi tempat ibadah, masjid diharapkan menjadi pusat pengkajian ilmu, khususnya ilmu keislaman yang berbasis tradisi pesantren.
Bayu Sugondo berharap agar ke depan kegiatan semacam ini dapat semakin meluas dan diikuti oleh lebih banyak masjid di bawah naungan LTMNU.
“Kami berharap NU di Prabumulih semakin maju, tidak hanya melalui penguatan organisasi tetapi juga dengan aktifnya kegiatan-kegiatan dari badan otonom dan lembaga-lembaga di bawah NU,” ujarnya. (Al)
NU Sumsel